”Gudang lmu Pengetahuan!” Begitu sastrawan besar Iran, Ali Akbar
Dehkhoda menjuluki Bukhara — salah satu kota penting dalam sejarah
peradaban Islam. Penyair Jalaludin Rumi pun secara khusus menyanjung
Bukhara.
”Bukhara
sumber pengetahuan. Oh, Bukhara pemilik pengetahuan,” ungkap Rumi dalam
puisinya menggambarkan kekagumannya kepada Bukhara tanah kelahiran
sederet ulama dan ilmuwan besar. Konon, nama Bukhara berasal dari bahasa
Mongol, yakni ‘Bukhar’ yang berarti lautan ilmu. Kota penting dalam
jejak perjalanan Islam itu terletak di sebelah Barat Uzbekistan, Asia
Tengah. Wilayah itu, dalam sejarah Islam dikenal dengan sebutan Wa Wara’
an-Nahr atau daerah-daerah yang bertengger di sepanjang Sungai Jihun.
Letak Bukhara terbilang amat amat strategis, karena berada di jalur
sutera. Tak heran, bila sejak dulu kala Bukhara telah menjelma menjadi
pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, budaya dan agama. Di kota itulah
bertemu pedagang dari berbagai bangsa di Asia barat termasuk Cina. Lalu
sejak kapan Bukhara mulai dikenal?
Menurut syair kepahlawanan Iran, kota Bukhara dibangun oleh raja
Siavush anak Shah Kavakhous, salah satu Shah dalam cerita dongeng Iran
yang berasal dari Dinasti Pishdak. Secara resmi, kota itu berdiri ada
sejak tahun 500 SM di wilayah yang kini disebut Arq. Namun, oasis
Bukhara telah didiami manusia mulai tahun 3000 SM, yakni semasa zaman
perunggu.
Wilayah Bukhara, sejak 500 SM sudah menjadi wilayah kekuasaan
Kekaisaran Persia. Seiring waktu, Bukhara berpindang tangan dari satu
kekuasaan ke kekuasaan lainnya, seperti Aleksander Agung, kekaisaran
Hellenistic Seleucid, Greco-Bactaian, dan Kerajaan Kushan.
Selama masa itu, Bukhara menjadi pusat pemujaan Anahita. Dalam satu
putaran bulan, penduduknya biasa merayakan ritual ibadah dengan
mengganti berhala yang sudah usang dengan berhala yang baru. Sebelum
Islam menaklukan wilayah itu, penduduk Bukhara adalah para penganut
agama Zoroaster yang menyembah api.
Kehidupan penduduk Bukhara mulai berubah ketika tentara Islam datang
membawa dakwah. Pada akhir tahun 672, Ziyad bin Abihi menugaskan Miqdam
Rabi’ bin Haris berlayar dari Irak menuju daerah Khurasan. Miqdam
berhasil menaklukan wilayah itu sampai ke Iran Timur. Setelah Ziyad
meninggal, Mu’awiyah, Khalifah Bani Umayyah memerintahkan Ubaidillah bin
Ziyad untuk menaklukan Bukhara.
Pasukan tentara Islam pertama menjejakan kaki di tanah Bukhara pada
674 M di bawah pimpinan panglima perang, Ubaidillah bin Ziyad. Namun,
pengaruh Islam benar-benar mulai mendominasi wilayah itu pada 710 M di
bawah kepemimpinan Kutaiba bin Muslim. Seabad setelah terjadinya Perang
Talas, Islam mulai mengakar di Bukhara.
Tepat pada tahun 850 M, Bukhara telah menjadi ibu kota Dinasti
Samanid. Dinasti itu membawa dan menghidupkan kembali bahasa dan budaya
Iran ke wilayah itu. Ketika Dinasti Samanid berkuasa, selama 150 tahun
Bukhara tak hanya menjadi pusat pemerintahan, namun juga sentra
perdagangan.
Pedagang
dari Asia Barat dan Cina bertemu di kota itu. Di kota Bukhara pun
berkembang bisnis pembuatan kain sutera, tenunan kain dari kapas,
karpet, katun, produk tembaga, dan perhiasan dari emas serta perak
dengan berbagai bentuk. Bukhara pun kesohor sebagai pasar induk yang
menampung produk dari Cina dan Asia Barat. Selain itu, karena berada di
sekitar Sungai Jihun, tanah Bukhara pun dikenal sangat subur.
Buah-buahan pun melimpah. Kota Bukhara terkenal dengan buah-buahan
seperti Barkouk Bukhara yang terkenal hampir seribu tahun. Geliat bisnis
dan perekonomian pun tumbuh pesat. Tak heran, bila kemudian nama
Bukhara makin populer.
Pada era keemasan Dinasti Samanid, Bukhara juga menjadi pusat
intelektual dunia Islam. Saat itu, di kota Bukhara bermunculan
madrasah-madrasah yang mengajarkan ilmu pengetahuan. Dinasti Samanid pun
mulai memperbaiki sistem pendidikan umum. Di setiap perkampungan
berdiri sekolah. Keluarga yang kaya-raya menndidikan putera-puterinya
dengan sisitem home schooling atau sekolah di rumah.
Anak yang berusia enam tahun mulai mendapat pendidikan dasar selama
enam tahun. Setelah itu, anak-naka di Bukhara bisa melanjutkan studinya
ke madrasah. Pendidikan di madrasah dilalui dalam tiga tingkatan,
masing-masing selama tujuh tahun. Keseluruhan pendidikan di madrasah
harus ditempuh selama 21 tahun.
Para siswa mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, mulai ilmu agama,
aritmatika, jurisprudensi, logika, musik, serta puisi. Geliat pendidikan
di Bukhara itu telah membawa pengaruh yang positif dalam penyebaran dan
penggunaan bahasa Persia dan Uzbek.
Tak heran, kemampuan penduduk Bukhara dalam menulis, menguasai ilmu
pengetahuan serta keterampilan berkembang pesat. Di tanah Bukahara pun
kemudian lahir sederet ulama dan ilmuwan Muslim termasyhur.
Pada tahun 998 M, kekuasaan Dinasti Samanid berakhir dan digantikan
Dinasti Salajikah. Tak lama kemudian, diambli alih Dinasti Khawarizm.
Pada masa itu, status Bukhara sebagai pusat peradaban dan perkembangan
Islam masih tetap dipertahankan. Ketika masa kekuasaan pemerintah Sultan
Ala’udin Muhammad Khawarizm Syah berakhir, Bukhara sebagai pusat ilmu
pengetahuan pun mulai meredup.
Pada tahun 1220 M, peperangan hebat antara pasukan Sultan Ala’udin
dengan pasukan Mongol di bawah komando Jengiz Khan meletus. Serangan
bruta yang dilakukan 70 ribu pasukan Jengiz Khan tak mampu diredam.
Bukhara pun jatuh ke tangan pasukan Mongol. Dengan kejam dan sadis,
pasukan Mongol membantai penduduk kota, membakar madrasah, masjid dan
bangunan penting lainnya.
Jengiz Khan meluluh-lantakan peradaban dan ilmu pengetahuan yang
dibangun umat Islam di Bukhara. Bukhara rata dengan tanah. Ibnu Asir
melukiskan kondisi Bukhara dengan kata-kata:ka an lam tagna bi al-amsi
(seolah-olah tak ada apa-apa sebelumnya). Cahaya kemajuan peradaban yang
ilmu pengetahuan yang terpancancar dari Bukhara pun meredup.
Nasib tragis ini, 38 tahun kemudian dialami pula oleh Baghdad, ketika
Hulagu Khan keturunan Jengiz Khan menghancurkan metropolis intelektual
abad pertengahan itu dengan bengis dan sadis.
Ulama dan Ilmuwan Besar dari Bukhara
Masa kejayaan Bukhara sebagai pusat ilmu pengetahuan telah melahirkan
sederet ulama dan ilmuwan besar dari Bukhara. Hal itu menunjukkan bahwa
Bukhara memiliki pengaruh yang besar pada era keemasannya. Di antara
tokoh-tokoh besar asal Bukhara itu memberi kontribusi yang besar bagi
perkembangan agama Islam dan ilmu pengetahuan itu antara lain: Imam
Bukhari
Imama Bukhari
Imam Bukhari terlahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H bertepatan dengan 21 Juli 810 M. Ia adalah ahli hadits termasyhur. Imam Bukhari dijuluki amirul mukminin fil hadits atau pemimpin kaum mukmin dalam hal ilmu hadits. Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari.
Imam Bukhari terlahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H bertepatan dengan 21 Juli 810 M. Ia adalah ahli hadits termasyhur. Imam Bukhari dijuluki amirul mukminin fil hadits atau pemimpin kaum mukmin dalam hal ilmu hadits. Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari.
Tak lama setelah lahir, Imam Bukhari kehilangan penglihatannya.
Bersama gurunya Syekh Ishaq, ia menghimpun hadits-hadits shahih dalam
satu kitab, dari satu juta hadits yang diriwayatkan 80 ribu perawi
disaringnya menjadi 7.275 hadits. Ia menghabiskan waktunya untuk
menyeleksi hadits shahih selama 16 tahun. Shahih Bukhari adalah salah
satu karyanya.
Ibnu Sina
Terlahir di Afsyahnah, Bukhara pada 980 M. Ibnu Sina adalah seorang filsuf, lmuwan sekaligus dokter. Ia dijuluki sebagai ‘Bapak Pengobatan Modern’. Buah pikir dan karyanya dituangkan dalam 450 buku, sebagaian besar mengupas filsafat dan kedokteran. Ibnu Sina merupakan ilmuwan Islam paling terkenal. Hasil pemikiran yang paling termasyhur dari Ibnu Sina adalah The Canon of Medicine (Al-Qanun fi At Tibb).
Terlahir di Afsyahnah, Bukhara pada 980 M. Ibnu Sina adalah seorang filsuf, lmuwan sekaligus dokter. Ia dijuluki sebagai ‘Bapak Pengobatan Modern’. Buah pikir dan karyanya dituangkan dalam 450 buku, sebagaian besar mengupas filsafat dan kedokteran. Ibnu Sina merupakan ilmuwan Islam paling terkenal. Hasil pemikiran yang paling termasyhur dari Ibnu Sina adalah The Canon of Medicine (Al-Qanun fi At Tibb).
Selain itu, era tamadun Bukhara juga telah melahirkan sosok ulama dan
Ilmuwan sepertih Abu Hafsin Umar bin Mansur Al-Bukhari yang dikenali
dengan nama Al-Bazzar, Al-Hafiz Abu Zakaria Abdul Rahim Ibnu Nasr
Al-Bukhari, Abdul rahim bin Ahmad Al-Bukhari, dan Abu Al-Abbas
Al-Maqdisi Al-Hambali.
Di bidang sastra, Bukhara juga telah menghasilkan sederet sastrawan
dan penyair kondang. Para penyair dan sastrawan kelahiran Bukhara telah
menisbahkan nama mereka kepada Bukhara. Para penyair dan sastrawan dari
Bukhara itu antara lain;i Ar-Raudaky, Fadhil Al-Bukhari, Am’aq
Al-Bukhari, Al-Khajandi, Lutfullah An-Naisaburi, serta Ahmad
Al-Karamani.
Bukhara di Era Modern
Meski masa kejayaannya telah berlalu pada abad ke-13 M, Bukhara masih
memegang peranan yang penting di abad ke-19 M. Menurut Demezon, pada
tahun 1833, Bukhara tetap menjadi bagian yang penting dalam kehidupan
keagamaan dan budaya di kawasan tersebut.
“Madrasah-madrasah di Bukhara masih terkenal hingga ke Turkistan.
Pelajar-pelajar dari Khiva, Kokand, Gissar bahkan dari Samarkand dan
kawasan Tatar berbondong-bondong belajar ke Bukhara. Ada sebanyak 60
madrasah di Bukhara yang sukses maupun kurang sukses,” papar Demezon
menggambarkan situasi Bukhara di abad ke-19.
Memasuki era modern, Bukhara berada di bawah kekuasaan Rusia. Bukhara
pun dijadikan semacam bidak catur dalam ‘permainan besar’ antara Rusia
dengan Inggris. Kota itu benar-benar merdeka selama revolusi komunis.
Namun, Bukhara akhirnya masuk dalam kekuasaan Uni Soviet.
Menyusul terbentuknya Uni Soviet, Tajiks yang merupakan bagian dari
Uzbekistan menuntut kemerdekaan. Rusia yang mendukung Uzbekistan atas
Tajiks membenyerahkan kota yang secara tradisional berbahasa dan
berbudaya Iran, yakni Bukhara dan Samarkand kepada Uzbekistan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar