Masa Nabi Muhammad saw merupakan
periode pertama sejarah dan perkembangan hadis. Masa ini cukup singkat, hanya
23 tahun lamanya dimulai sejak tahun 13 sebelum Hijriah atau bertepatan dengan
610 Masehi sampai dengan tahun 11 Hijriah atau bertepatan dengan 632 Masehi.
Saat itu hadis diterima dengan
mengandalkan hafalan para sahabat Nabi saw. Para sahabat pada masa itu belum
merasa ada urgensi untuk melakukan penulisan hadis-hadis Nabi, mengingat Nabi saw
masih mudah untuk dihubungi dan dimintai keterangan-keterangan tentang segala
hal yang berhubungan dengan ibdah dan mu'amalah keseharian umat Islam.
Perhatian Rasul Terhadap Ilmu
Rasulullah saw adalah orang yang sangat
memperhatikan ilmu. Beliau mengingatkan dengan tegas akan pentingnya menuntut
ilmu, dan oleh karena itu menuntut ilmu wajib bagi umat Islam, seperti hadis
Rasulullah saw berikut ini:
-->
طَلَبُ
اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ (أخرجه ابن ماجه)
Mencari ilmu itu wajib hukumnya bagi
setiap orang Islam. (Hadis diriwayatkan oleh Ibn Majah)
Bukan hanya mencari ilmu yang
diperintahkan oleh Rasulullah saw, akan tetapi ilmu yang sudah kita terima,
juga harus kita sampaikan kepada orang lain. Sebagaimana Hadis Rasulullah saw
berikut ini:
-->
أَلاَ
لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الغَائِبَ. (أخرجه ابن ماجه)
Ingatlah, hendaklah yang hadir
menyampaikan kepada yang tidak hadir. (Hadis diriwayatkan oleh Ibn Majah)
Dari hadis di atas jelas diterangkan
bahwa orang yang menghadiri majlis ilmu senantiasa menyebarkan ilmu yang ia
terima kepada orang lain yang tidak dapat menghadirinya, dalam kata lain adalah
orang-orang yang belum mengetahui ilmu yang ia terima. Dalam hadis lain
Rasulullah saw juga menjelaskan akan posisi atau status para Ulama (oran-orang
yang berilmu), seperti hadis berikut ini :
-->
العُلَمَاءُ
وَرَثَةُ اْلأَنْبِياَء
Metode Penyampaian Hadis pada Masa Nabi
saw
Metode yang digunakan pada masa Nabi
saw untuk menyampaikan seuatu hadis atau ajaran Islam adalah sebagai berikut:
- Pengajaran
bertahab. Di anatara pusat-pusat pengajaran saat itu adalah Rumah Argam
bin Abdi Manaf di Makkah sebagai pusat dakwah Islam saat masih dilakukan
secara sembunyi. Rumah tersebut dikenal dengan sebutan Darul-Islam.
Kemudian di Masjid dan diberbagai kesempatan, seperti saat perjalanan,
majlis ilmu dan lain-lain.
- Memberikan
Variasi. Terkadang Rasulullah saw memperpanjang senggang waktu antara
mauidah yang satu dengan mauidhah lainnya agar para sahabat tidak merasa
bosan.
- Memberikan
contoh praktis.
- Memperhatikan
situasi dan kondisi (sesuai kadar intelektual mereka)
- Memudahkan
dan tidak memberatkan.
Cara Sahabat Memperoleh Sunnah dari
Nabi Muhammad saw
- Majlis-majlis
Ilmu.
- Pertemuan-pertemuan
umum, seperti ketika haji Wada' dan fath Makkah.
- Peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada Rasulullah saw.
- Kejadian-kejadian
yang terjadi pada kaum muslimin.
- Berbagai
peristiwa yang disaksikan oleh sahabat dan bagaimana Rasulullah saw
melaksanakannya.
- Para
sahabat yang mengekemukakan masalah, bertanya dan berdialog langsung
dengan Nabi saw.
Pelarangan Penulisan Hadis
Polemik dibolehkan tidaknya penulisan
hadis timbul karena ada beberapa hadis yang mendukung, baik yang memperbolehkan
penulisan hadis maupun yang melarang. Hadis pelarangan seringkali diangkat
tanpa didampingi dengan hadis pembolehan, oleh sebab itu banyak orang yang
salah paham dengan hanya menkaji satu hadis saja. Polemik ini dapat mudah
diselesaikan dengan mengkaji hikmah dibalik adanya pelarangan penulisan
hadis-hadis Rasulullah saw.
Untuk menganalisa pelarangan penulisan
hadis pada zaman Rasulullah saw, sebaiknya kita menilik kembali penyemabarn
hadis-hadis pada masa Rasulullah saw.
Seperti yang telah kita ketahui
bersama, bahwasanya hadis-hadis Rasulullah saw tersebar bersamaan dengan
turunnya wahyu Ilahi kepada Rasulullah saw sejak awal masa dakwah Islam
dimulai. Sedangkan faktor-faktor yang mendukung tersebarnya sunah ke berbagai
penjuru, antara lain:
- Kegigihan
Rasulullah saw dalam menyampaikan dakwah Islam.
- Kegigihan
dan kemauan keras para sahabat dalam menuntut, menghafal dan menyampaikan
ilmu.
- Para
Ummul Mu'minin dan Sahabiyat.
- Para
utusan Rasulullah saw dll.
Sementara itu, Rasulullah pada suatu
kesempatan menyampaikan sutau ungkapan yang melarang penulisan hadis-hadis
beliau, dan pada kesempatan lain Rasulullah saw memperbolehkan para sahabat
menulis apa-apa yang disampaikan Rasulullah saw.
Hadis pelarangan penulisan Hadis
sebagai berikut:
-->
عَنْ أَبِى
سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ
تَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
وَحَدِّثُوا عَنِّى وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ».
Dari Abu Sa'id al-Khudri ra. Rasulullah
saw bersabda:
Janganlah kalian menulis dariku, dan
barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur'an maka hendaklah dia
menghapusnya. Dan bicarakanlah tentangku tanpa masalah, dan barang siapa yang
berbohong atas namaku maka dia sudah mendudukkan kursinya di Neraka. (HR. Muslim,
al-Daruqutni dan Ahmad)
Dan hadis yang membolehkan penulisan
hadis adalah sebagai berikut:
-->
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضي اللهُ عَنْه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم خَطَبَ فَذُكِرَ
الْقِصَّةَ فِي الْحَدِيْثِ. فَقَالَ أَبُوْ شَاه: اُكْتُبُوا لِى يَا رَسُولَ
اللهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «
اكْتُبُوا لأَبِى شَاهٍ »
Dari Abu Hurairah ra. :
Rasulullah saw berkhutbah (pda haji
wada') dan menyebutkan sebuat kisah dalam sebuah hadis. Kemudian ada sahabat
Abu Syah berkata: Tolong tuliskan untuk saya (apa yang engkau khutbahkan),
Wahai Rasulullah saw. Rasulullah saw pun berkata kepada beberapa orang sahabat:
Kalian tuliskan untuk Abu Syah. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Solusi Penyelesaian
- Nasikh
dan Mansukh. Artinya, hadis pelarangan dihapus hukumnya dengan hadis
pembolehan, apalagi hadis pembolehan diperkatakan pada tahun 8 H, ketika
Haji Wada'. Namun jika ini dijadikan alasan, Abu Sa'id al-Khudri dikatakan
masih tetap enggan menulis sampai akhir hanyatnya. Ada riwayat bahwa Abu
Bakar sempat membakar lembaran-lembaran hadis, serta Umar pernah mempunyai
gagasan untuk penulisan hadis, namun niatan itu diurungkan setelah
melakukan istikharah.
- Mengkompromikan
dua Hadis. Rasulullah saw mempunyai dua kebijakan, yaitu pertama: Melarang
kalangan umum untuk menulis hadis, karna khawatir bercampur dengan
ayat-ayat al-Qur'an. Kedua: Membolehkan beberapa orang sahabat menulis
hadis, karena sahabat itu adalah sahabat yang mengerti mana al-Qur'an dan
mana Hadis sesuati petunjuk Rasulullah saw.
Dan menurut para Ulama pendapat yang
kedua adalah pendapat yang paling tepat.
Akan tetapi ada sebuah pertanyaan, benarkah
Rasulullah saw takut tercampurnya antara al-Qur'an dan Hadis? Jika kala itu
hadis dibolehkan penulisannya kepada semua orang.
Kekhawatiran ini dibantah oleh Ibn
hajar dengan menyatakan bahwa sangat berbeda antara bahasa al-Qura'an dan
Hadis. Orang Arab pada masa itu mempunyai cita rasa sastra yang sangat tinggi
sehingga dengan mudah untuk membedakan aman ayat-ayat al-Qur'an dan mana Hadis
Rasulullah saw.
Masa pembentukan Al Hadist
Masa Rosullullah
Berita tentang prilaku Nabi Muhammad (sabda,
perbuatan, sikap ) didapat dari seorang sahabat atau lebih yang
kebetulan hadir atau menyaksikan saat itu, berita itu kemudian disampaikan
kepada sahabat yang lain yang kebetulan sedang tidak hadir atau tidak
menyaksikan. Kemudian berita itu disampaikan kepada murid-muridnya yang disebut
tabi'in (satu generasi dibawah sahabat) .
Berita itu kemudian disampaikan lagi ke murid-murid dari generasi selanjutnya
lagi yaitu para tabi'ut tabi'in dan
seterusnya hingga sampai kepada pembuku hadist (mudawwin).
Pada masa Sang Nabi masih
hidup, Hadits belum ditulis dan berada dalam benak atau hapalan para sahabat.
Para sahabat belum merasa ada urgensi untuk melakukan penulisan mengingat Nabi
masih mudah dihubungi untuk dimintai keterangan-keterangan tentang segala
sesuatu.
Di antara sahabat tidak
semua bergaulnya dengan Nabi. Ada yang sering menyertai, ada yang beberapa kali
saja bertemu Nabi. Oleh sebab itu Al Hadits yang dimiliki sahabat itu tidak
selalu sama banyaknya ataupun macamnya. Demikian pula ketelitiannya. Namun
demikian di antara para sahabat itu sering bertukar berita (Hadist) sehingga
prilaku Nabi Muhammad banyak yang diteladani, ditaati dan diamalkan sahabat
bahkan umat Islam pada umumnya pada waktu Nabi Muhammad masih hidup.
Dengan demikian pelaksanaan
Al Hadist dikalangan umat Islam saat itu selalu berada dalam kendali dan
pengawasan Nabi Muhammad baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh
karenanya para sahabat tidak mudah berbuat kesalahan yang berlarut-larut. Al
Hadist yang telah diamalkan/ditaati oleh umat Islam dimasa Nabi Muhammad hidup
ini oleh ahli Hadist disebut sebagai Sunnah Muttaba'ah Ma'rufah. Itulah
setinggi-tinggi kekuatan kebenaran Al Hadist.
Meski pada masa itu Al
Hadist berada pada ingatan para sahabat, namun ada sahabat yang menuliskannya
untuk kepentingan catatan pribadinya (bukan untuk kepentingan umum). Di
antaranya ialah :
- 'Abdullah bin 'Umar bin 'Ash
(dalam himpunan As Shadiqah)
- 'Ali bin Abi Thalib (dalam
shahifahnya mengenai huku-hukum diyat yaitu soal denda atau ganti rugi).
Masa penggalian
Setelah Nabi Muhammad wafat
(tahun 11 H / 632 M) pada awalnya tidak menimbulkan masalah mengenai Al
Hadits karena sahabat besar masih cukup jumlahnya dan seakan-akan menggantikan
peran Nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan
pemecahan, baik mengenai Al Hadist ataupun Al Quran. Dan di antara mereka masih
sering bertemu untuk berbagai keperluan.
Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun
13 - 23 H atau 634 - 644 M) wilayah dakwah Islamiyah dan daulah Islamiyah mulai
meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru
khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan macam
masalah yang memerlukan pemecahannya. Meski para sahabat tempat tinggalnya
mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, namun kebutuhan untuk memecahkan
berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para sahabat makin saling
bertemu bertukar Al Hadist.
Kemudian para sahabat kecil
mulai mengambil alih tugas penggalian Al Hadits dari sumbernya ialah para
sahabat besar. Kehadiran seorang sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian
para sahabat kecil terutama para tabi'in. Meski memerlukan perjalanan jauh
tidak segan-segan para tabi'in ini berusaha menemui seorang sahabat yang
memiliki Al Hadist yang sangat diperlukannya. Maka para tabi'in mulai banyak
memiliki Al Hadist yang diterima atau digalinya dari sumbernya yaitu para
sahabat. Meski begitu, sekaligus sebagai catatan pada masa itu adalah Al
Hadist belum ditulis
apalagi dibukukan.
Masa penghimpunan
Musibah besar menimpa umat
Islam pada masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Musibah itu berupa permusuhan di antara sebagian umat Islam yang meminta korban
jiwa dan harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan itu semula hanya
memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian bergeser kepada bidang Syari'at
dan Aqidah dengan membuat Al Hadist Maudlu' (palsu) yang jumlah dan macamnya
tidak tanggung-tanggung guna mengesahkan atau membenarkan dan menguatkan
keinginan / perjuangan mereka yang saling bermusuhan itu. Untungnya mereka
tidak mungkin memalsukan Al Quran, karena selain sudah didiwankan (dibukukan)
tidak sedikit yang telah hafal. Hanya saja mereka yang bermusuhan itu memberikan
tafsir-tafsir Al Quran belaka untuk memenuhi keinginan atau pahamnya.
Keadaan menjadi semakin
memprihatinkan dengan terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi
Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan terutama para
tabi'in mengingat kondisi demikian itu lantas mengambil sikap tidak mau lagi
menerima Al Hadist baru, yaitu yang sebelumnya tidak mereka miliki. Kalaupun
menerima, para shabat kecil dan tabi'in ini sangat berhat-hati sekali. Diteliti
dengan secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi sumber dan siapa yang
membawakannya. Sebab mereka ini tahu benar siapa-siapa yang melibatkan diri
atau terlibat dalam persengketaan dan permusuhan masa itu. Mereka tahu benar
keadaan pribadi-pribadi sumber / pemberita Al Hadist. Misal apakah seorang yang
pelupa atau tidak, masih kanak-kanak atau telah udzur, benar atau tidaknya
sumber dan pemberitaan suatu Al Hadist dan sebagainya. Pengetahuan yang
demikian itu diwariskan kepada murid-muridnya ialah para tabi'ut tabi'in.
Umar bin Abdul Aziz
seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 - 101 H / 717 - 720 M) termasuk angkatan tabi'in yang memiliki jasa yang besar
dalam penghimpunan Al Hadist. Para kepala daerah diperintahkannya untuk
menghimpun Al Hadist dari para tabi'in yang terkenal memiliki banyak Al Hadist.
Seorang tabi'in yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim bin
'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun 51 - 124 H / 671 - 742 M) diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Untuk
itu beliau Az Zuhri
menggunakan semboyannya yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau
lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya : Sanad itu
bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang
apa saja).
Az Zuhri melaksanakan
perintah itu dengan kecermatan yang setinggi-tingginya, ditentukannya mana yang
Maqbul dan mana yang Mardud. Para ahli Al Hadits menyatakan bahwa Az Zuhri
telah menyelamatkan 90 Al Hadits yang tidak sempat diriwayatkan oleh rawi-rawi
yang lain.
Di tempat lain pada masa
ini muncul juga penghimpun Al Hadist yang antara lain:
- di Mekkah - Ibnu Juraid
(tahun 80 - 150 H / 699 - 767 M)
- di Madinah - Ibnu Ishaq
(wafat tahun 150 H / 767 M)
- di Madinah - Sa'id bin 'Arubah
(wafat tahun 156 H / 773 M)
- di Madinah - Malik bin Anas (tahun
93 - 179 H / 712 - 798 M)
- di Madinah - Rabi'in bin Shabih
(wafat tahun 160 H / 777 M)
- di Yaman - Ma'mar Al Ardi (wafat tahun
152 H / 768 M)
- di Syam - Abu 'Amar Al Auzai (tahun 88 -
157 H / 707 - 773 M)
- di Kufah - Sufyan Ats Tsauri
(wafat tahun 161 H / 778 M)
- di Bashrah - Hammad bin Salamah
(wafat tahun 167 H / 773 M)
- di Khurasan - 'Abdullah
bin Mubarrak (tahun 117 - 181 H / 735 - 798 M)
- di Wasith (Irak) - Hasyim (tahun
95 - 153 H / 713 - 770 M)
- Jarir bin 'Abdullah Hamid (tahun
110 - 188 H / 728 - 804 M)
Yang perlu menjadi catatan
atas keberhasilan masa penghimpunan Al Hadist dalam kitab-kitab pada masa Abad
II Hijriyah ini, adalah bahwa Al Hadist tersebut belum dipisahkan mana yang
Marfu', mana yang Mauquf dan mana yang Maqthu'.
Masa pendiwanan dan
penyusunan
Usaha pendiwanan (yaitu
pembukuan, pelakunya ialah pembuku Al Hadits disebut pendiwan) dan penyusunan
Al Hadits dilaksanakan pada masa abad ke 3 H. Langkah utama dalam masa ini
diawali dengan pengelompokan Al Hadits. Pengelompokan dilakukan dengan
memisahkan mana Al Hadits yang marfu', mauquf dan maqtu'. Al Hadits marfu'
ialah Al Hadits yang berisi perilaku Nabi Muhammad, Al Hadits
mauquf ialah Al Hadits yang berisi perilaku sahabat dan Al Hadits
maqthu' ialah Al Hadits yang berisi perilaku tabi'in. Pengelompokan tersebut di
antaranya dilakukan oleh :
- Ahmad bin Hambal
- 'Abdullan bin Musa Al 'Abasi Al
Kufi
- Musaddad Al Bashri
- Nu'am bin Hammad Al Khuza'i
- 'Utsman bin Abi Syu'bah
Yang paling mendapat
perhatian paling besar dari ulama-ulama sesudahnya adalah Musnadul Kabir
karya Ahmad bin Hambal
(164-241 H / 780-855 M) yang berisi 40.000 Al Hadits, 10.000 di antaranya berulang-ulang.
Menurut ahlinya sekiranya Musnadul Kabir ini tetap sebanyak yang disusun Ahmad
sendiri maka tidak ada hadist yang mardud (tertolak). Mengingat musnad ini
selanjutnya ditambah-tambah oleh anak Ahmad sendiri yang bernama 'Abdullah dan
Abu Bakr Qathi'i sehingga tidak sedikit termuat dengan yang dla'if dan 4 hadist
maudlu'.
Adapun pendiwanan Al Hadits
dilaksanakan dengan penelitian sanad dan rawi-rawinya. Ulama terkenal
yang mempelopori usaha ini adalah :
Ishaq bin Rahawaih bin
Mukhlad Al Handhali At Tamimi Al Marwazi (161-238 H / 780-855 M)
Ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasai.
Ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasai.
Usaha Ishaq ini selain
dilanjutkan juga ditingkatkan oleh Bukhari, kemudian diteruskan oleh muridnya
yaitu Muslim. Akhirnya ulama-ulama sesudahnya meneruskan usaha tersebut
sehingga pendiwanan kitab Al Hadits terwujud dalam kitab Al Jami'ush Shahih
Bukhari, Al Jamush Shahih Muslim As Sunan Ibnu Majah dan seterusnya sebagaimana
terdapat dalam daftar kitab masa abad 3 hijriyah.
Yang perlu menjadi catatan
pada masa ini (abad 3 H) ialah telah diusahakannya untuk memisahkan Al Hadits
yang shahih dari Al Hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam Al
Hadits, yaitu :
- Kitab Shahih - (Shahih Bukhari, Shahih Muslim) -
berisi Al Hadits yang shahih saja
- Kitab Sunan - (Ibnu Majah, Abu
Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) - menurut sebagian ulama selain
Sunan Ibnu Majah berisi Al Hadit shahih dan Al Hadits dla'if yang tidak
munkar.
- Kitab Musnad - (Abu Ya'la, Al
Hmaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) - berisi
berbagai macam Al Hadits tanpa penelitian dan penyaringan. Oleh seab itu
hanya berguna bagi para ahli Al Hadits untuk bahan perbandingan.
Apa yang telah dilakukan
oleh para ahli Al Hadits abad 3 Hijriyah tidak banyak yang mengeluarkan atau
menggali Al Hadits dari sumbernya seperti halnya ahli Al Hadits pada adab 2
Hijriyah. Ahli Al Hadits abad 3 umumnya melakukan tashhih (koreksi atau
verifikasi) saja atas Al Hadits yang telah ada disamping juga menghafalkannya.
Sedangkan pada masa abad 4 hijriyah dapat dikatakan masa penyelesaian pembinaan
Al Hadist. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki
susunan kitab Al Hadits, menghimpun yang terserakan dan memudahkan
mempelajarinya.
Oleh: Administartor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar